Pada gelap semesta, aku menulis di
udara,tentang rindu yang tidak pernah bermuara, tentang rasa yang sengaja
dilupa begitu saja.
Pada secangkir kopi yang telah entah
berapa kali sudah aku cicipi.
Terkadang aku menginginkan pagi datang
terlalu dini, menghapus resah atas segala teka teki tentangmu lelaki.
Bagiku mengingatmu pagi-pagi, serupa manis gula yang
hadir sejenak dalam seduhan secangkir kopi.
Kadang aku cemburu kepada matahari yang lebih dulu
menyapamu, membersamai langkahmu dalam mengawali hari,
Aku iri pada semua jalan yang kamu sapa terlebih
dahulu sebelum bertemu denganku di sepanjang perjalananmu,
Terkadang, aku ingin menjadi angin yang pertama kali
menyentuh pipimu,
Dan aku ingin menjadi burung burung gereja yang mengintipmu
dari balik kelambu demi melihat senyum pertamamu,
Nyatanya,
Pagi ini lagi lagi kusambut sendiri, tidak ada
kecupan ataupun pelukan sebagai pertanda bahwa aku tak sendirian
Terkadang ada bagian yang aku lupa,
Bahwa aku tidak akan pernah menjadi yang pertama,
karena dia
Bahwa aku akan selalu jadi tempatmu berhenti di kala
senja, ketika matahari tak lagi
menampakkan diri, dan tentu saja setiap temu kita tanpa mereka ketahui
Entah berapa pagi lagi yang harus aku rasai hingga akhirnya
kita bisa duduk berdua di beranda, menyeduh secangkir kopi pada pagi yang
beratasnamakan kita, tanpa dia.
-aku yang hanya bisa melihatmu setelah dia-